Sepasang Burung Lovebird

Sampai hari ini aku percaya. Pernikahan itu indah. Aku senang bisa menikah dengannya. Setelah berbagai perjuangan yang kami lalui bersama. Pada akhirnya dengan segala macam cibiran dan cemoohan orang-orang, bahkan yang muncul dari keluarga kami masing-masing. Dia, laki-laki yang aku dambakan, berani mengucapkan ijab qabul dan bersumpah untuk setia, sehidup semati. Sekali pun aku dinikahi dalam keadaan sudah berbadan dua. Bagiku tidak masalah. Karena mungkin hanya ini caranya agar kami bisa hidup bersama. Dia mau bertanggung jawab untuk kehidupanku, dan bayi yang aku kandung. Dengan menyerahkan kandang burung beserta sepasang burung lovebird, tak lupa beberapa lembar uang tunai yang tidak terlalu banyak sebagai mahar pernikahan kami.

Aku tahu ketika resepsi saat itu, Ibu menahan getir yang dia sembunyikan dalam senyumnya ketika menyambut satu per satu undangan yang hadir untuk menyalami kami di atas pelaminan. Aku sudah pikirkan bulat-bulat, kalau setelah resepsi dan tetek bengeknya selesai. Aku tidak perlu lagi repot-repot berdebat dengan Ibu tentang bagaimana aku harus menjalani hidup. Karena aku sudah memiliki suami yang harus aku layani. Bukan lagi kewajibanku untuk berbakti kepada ibuku.

Sudah genap enam bulan berlalu semenjak resepsi pernikahan kami. Kami tinggal di sebuah kontrakan kecil tanpa kamar kecuali kamar mandi. Suamiku masih senang sekali berkumpul dengan teman-teman sepermainannya diluar. Seringkali pulang larut malam dengan badan dan mulut bau alkohol. Pulang dengan keadaan seperti itu, kerapkali dia minta untuk berhubungan badan denganku. Aku tidak bisa dan tidak boleh menolaknya. Aku percaya ini bagian dari baktiku kepada suamiku. Menolak hal ini berarti membangkang dan aku adalah sebenar-benarnya istri yang durhaka. Bagaimana dengan bayi yang aku kandung? Dibulan ketiga, aku keguguran. Mungkin memang belum saatnya keluarga kecilku diberkahi oleh seorang anak. Suamiku juga tidak menyesali kehilangan ini. Dia tidak memarahiku yang mungkin masih belum pintar mengurus diri sendiri. Aku senang dia bisa memahaminya. Aku selalu berharap uang dari hasil kotak amplop pernikahan kami masih cukup setidaknya sampai suamiku mendapatkan pekerjaan.

Suatu hari ketika aku sedang membereskan kontrakan. Aku lupa menggantung kembali kandang burung lovebird, mahar pernikahan kami. Kucing menerkam kandang itu, satu ekor berhasil dimangsa, yang lainnya terbang entah kemana. Malamnya ketika suamiku pulang, dia melihat kandang burung dalam keadaan kosong.

“Burung kemana?”

“Sayang.. aku minta maaf… waktu aku lagi beres-beres… aku lupa gantungin kandangnya. Terus burungnya dimakan kucing. Yang satunya lagi kabur”

“CEWEK GOBLOK !!” Ditamparnya pipi kiriku dengan bagian belakang telapak tangannya. Ya, benar. Suamiku berhak marah. Aku memang seperti apa yang dia bilang. Aku tidak bisa mengurus  dan menjaga harta benda. Apa yang kudengar dari mulut suamiku selanjutnya adalah sumpah serapah untukku. Cacian dan tamparan. Aku pantas mendapatkan ini semua. Aku tidak pernah tau bagaimana usahanya mencari kerja diluar sana. Aku tidak bisa menghargai jasa suamiku sendiri.

Suamiku pergi lagi keluar, dengan membanting pintu kontrakan. Padahal itu sudah jam 10 malam. Aku putuskan untuk tidur-tiduran saja sambil menangis sambil menunggunya pulang. Entah kenapa saat itu aku kangen ibu. Aku coba memejamkan mata, masih dengan rasa menyesal.

Entah waktu terlewat berapa lama. Aku bisa mendengar pintu kontrakan dibuka. Suamiku pulang. Setelah melucuti pakaiannya, dia berbaring disampingku. Lalu dia memelukku yang sedang tidur dengan posisi menyamping, memunggunginya. Aku bisa mendengar dia berbisik.

“Maaf buat yang tadi ya. Aku udah dapet burung lain kok. Besok temenin aku ikut lomba adu burung ya. Hadiahnya lumayan, cukup buat kita makan selama tiga bulan.”

“Iya, gapapa. Maaf juga aku gak bisa jaga amanah. Aku masih butuh bimbingan kamu.”

Dia memelukku lebih erat lagi. Aku yakin selama kami bersama, kami bisa melalui apapun. Aku bahagia dengan pernikahanku.

Tinggalkan komentar