Bagaimana Rasanya Ditinggal Wafat Oleh Kerabat Yang Menjadi Korban Wabah COVID-19?

Beberapa hari yang lalu saya berkunjung ke rumah salah satu kerabat. Namanya Teteh Ari. Beliau perempuan kelahiran Sumatera Barat namun karena dinikahkan dengan kakak sepupu saya yang keturunan Sunda, kami para saudara iparnya sepakat memanggil beliau dengan sebutan Teteh. Saya berkunjung karena dimintai tolong untuk membenahi perangkat komputer dan laptop yang ada dirumahnya. Biasanya segala macam perkara elektronik di rumah itu diurus oleh kakak sepupu saya, Aa Dudi. Sekarang Aa Dudi sudah beristirahat dengan tenang, di makam darurat khusus pemakaman korban wabah di daerah Bantar Gebang, Bekasi.

Suami Teteh Ari, bernama Aa Dudi. Teman main saya selama hidup. Ketika beliau masih bujang, beliau adalah orang yang mengenalkan saya dengan musik metal, hiphop, dan genre musik yang lain. Seorang fans klub AC Milan dan punya hobi menonton film. Kami sering bertukar referensi soal film dan musik tiap kali bertemu.

Seiring waktu, setelah beliau menikah dan berkeluarga, kami semakin jarang bertemu. Dari waktu selintas kami bertemu seperti acara arisan keluarga, lebaran, atau hari-hari libur panjang saya mendapati ternyata makin banyak perubahan positif yang terjadi.

Aa Dudi hanya seorang pemuda biasa yang hidupnya sangat lurus. Ketika lulus kuliah dan bekerja, seluruh hidupnya hanya untuk berbakti kepada orangtuanya serta mengayomi adik-adik sepupunya. Setelah menikah dan menjadi ayah serta kepala rumah tangga, tanggung jawab hidupnya bertambah. Beliau menjadi sosok yang tegas, taat pada ajaran agama, dan mampu membimbing keluarganya sesuai tuntutan agama lebih dari ketika beliau masih bujang.

Beliau dikaruniai tiga orang anak, yang sulungnya laki-laki, sekarang sedang masuk pesantren dan beberapa tahap lagi menjadi seorang hafidz. Menyusul dua adik perempuannya. Anaknya yang kedua juga sedang mengenyam pendidikan di pesantren. Anaknya yang bungsu masih bersekolah SD dan menemani ibunya di rumah. Jadi sekarang rumah itu hanya dihuni oleh dua orang.

Sesampainya di rumah Teh Ari, seperti biasanya saya mendapat sambutan hangat. Saya bisa paham bagaimana gelagatnya agak canggung untuk menerapkan protokol kesehatan di rumahnya ketika saya tiba.

“Teh, ini kalo harus disemprot alkohol juga gapapa kok.”

“Beneran gapapa ya ky. Abisnya gue trauma sekarang. Maap banget nih.”

Trauma.

Kata yang paling tepat untuk mengungkapkan apa yang beliau alami sekarang. Ketika televisi, media sosial, serta media cetak menampilkan angka-angka korban wabah yang semakin melonjak, ternyata salah satu anggota keluarga kita tergabung dalam angka-angka korban yang ditampilkan disana. Terlebih lagi kalau korban adalah orang yang sangat kita andalkan.

Sambil membenahi komputer disana, Teh Ari bercerita banyak. Memang dari dulu saya kenal, beliau adalah orang yang senang mengobrol dan tidak ragu mengungkapkan pendapatnya.

“Bingung gue, Ky. Biasanya hal-hal kayak gini yang ngurus Aa. Gue juga gak ngerti ini harus gimana.”

Kemudian dia bercerita bagaimana ketika anak keduanya harus mengikuti pembelajaran daring sementara perangkat-perangkatnya tidak ada yang bisa mempersiapkan. Dia juga menceritakan bagaimana Aa Dudi menjelang wafatnya. Sambil membenahi komputer kelebatan kenangan yang menyenangkan bersama almarhum lewat dipikiran saya. Kenangan itu juga seketika menghilang dan berlanjut menjadi rasa cemas. “Kalo gak ada dia, siapa lagi yang bisa gue jadiin sosok?”

Boleh dibilang almarhum yang akan menjadi sesepuh dan orang yang suaranya paling akan didengarkan di antara keluarga besar kami. Ketika orangtua kami sudah tidak ada nanti, beliau yang pendapatnya akan selalu kami jadikan tuntunan. Suatu hari sebelum almarhum sakit, Teh Ari pernah iseng menanyakan dalam pillow talk mereka sebelum tidur.

“Aa, udah ngasih pesen belom ke adek-adeknya.”

Almarhum menjawab

“Udah kok. Yang penting pada rajin sholat, jangan jauh dari agama. Tapi itu semua balik lagi ke mereka mau gimana ngejalaninnya. Aa kan cuma bisa ngasih tau, keputusan tetep ditangan mereka masing-masing.”

Selama membenahi komputer dirumah itu, saya sadar bola mata saya mulai menghangat, pertanda airmata akan mengalir. Saya kuatkan diri agar tidak menangis disana. Tidak tega dengan istri almarhum. Aa Dudi adalah satu-satunya tulang punggung keluarga, almarhum yang mencari nafkah dan segala macam biaya, almarhum yang tanggung. Pertanyaan-pertanyaan seperti.

“Terus anak-anak sekolahnya gimana?”

“Siapa yang mau cari nafkah setelah ini semua?”

“Listrik, beras, belanja kebutuha. Gimana semuanya?”

Pertanyaan itu semua cuma mengendap dipikiran saya. Tidak berani saya tanyakan. Tidak elok sama sekali rasanya. Yang ada dipikiran saya cuma

“Mungkin sekarang saatnya gantian. Gue yang harus mulai belajar mengayomi keluarga sendiri. Udah gak boleh cuek lagi. Harus lebih peka sama keluarga sendiri. Jangan ragu buat bantu selama mampu.”

Terkait soal kehidupan almarhum menanggapi wabah ini. Ketika wabah mulai menyebar almarhum adalah orang yang patuh terhadap protokol kesehatan dan bukan seorang perokok. Bukan tipikal orang yang menganggap “Ah virus ini cuma bikin-bikinan aja” atau orang yang menikmati omong kosong soal konspirasi wabah ini. Sama sekali tidak. Almarhum sadar akan pentingnya kebersihan dalam melindungi diri dan ini diterapkan dirumahnya.

Saya bersaksi, atas hidup saya, atas kehormatan saya, bahwa Dudi Iskandar bin Adang Hamid serta seluruh keluarga yang beliau pimpin adalah orang yang baik. Surga firdaus adalah sebaik-baiknya ganjaran bagi orang seperti beliau.

Semoga negara diberi kemampuan untuk menangani wabah ini dengan sebaik mungkin.

Tinggalkan komentar